Worldcoin: Jual Data Scan Retina, Amankah Bagi Pengguna?

Oleh

PendampingDesa

Pendamping Desa – Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah mengambil langkah tegas dengan menangguhkan sementara izin operasional Sistem Elektronik (PSE) untuk Worldcoin dan WorldID.

Berdasarkan laporan dari KOMPAS.com pada Senin, 5 Mei 2025, Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kominfo, Alexander Sabar, menyampaikan bahwa keputusan ini diambil sebagai tindakan pencegahan terhadap potensi dampak negatif yang mungkin timbul bagi masyarakat.

Penangguhan ini merupakan respons atas berbagai laporan yang diterima dari masyarakat, yang mengindikasikan adanya aktivitas yang menimbulkan kecurigaan terkait layanan digital tersebut.

Salah satu aspek yang menjadi sorotan dalam layanan Worldcoin dan WorldID adalah praktik pengumpulan data melalui pemindaian retina sebagai bagian dari proses identifikasi digital.

Banyak warga yang bersedia menjalani pemindaian retina dengan harapan mendapatkan imbalan finansial, yang dijanjikan berkisar antara Rp 300.000 hingga Rp 500.000.

Namun, pertanyaan mendasar muncul: apa sebenarnya teknologi pemindaian retina yang diimplementasikan oleh Worldcoin dan WorldID?

Seberapa amankah teknologi ini digunakan? Dan seberapa besar risiko yang mungkin timbul jika terjadi penyalahgunaan data?

Baca juga: Kemenkes RI Dukung Pemanfaatan AI Lokal untuk Deteksi Dini TBC

Pemindaian retina: Serupa tapi tak sama dengan sidik jari.

Pendamping Desa menghubungi Alfons Tanujaya, seorang ahli keamanan siber dari Vaksin.com, pada hari Senin, 5 Mei 2025, untuk memperoleh klarifikasi terkait isu ini.

Alfons menjelaskan bahwa pemindaian retina adalah proses pengambilan data sidik retina menggunakan perangkat kamera khusus, yang bertujuan untuk mengidentifikasi individu.

“Prinsipnya mirip dengan pengambilan sidik jari, hanya saja yang diambil adalah sidik retina,” ungkap Alfons.

Baca juga: Kominfo Bekukan Worldcoin, Apa Sebenarnya Layanan Ini?

Kekhawatiran berlebihan atau kewaspadaan yang beralasan?

Alfons menekankan bahwa kunci utama dalam keamanan data bukanlah jenis data biometrik itu sendiri, melainkan bagaimana data tersebut dikelola dan diamankan.

“Faktor terpenting dalam keamanan data bukanlah jenis data biometriknya, melainkan bagaimana pihak yang mengelola data tersebut menjamin keamanannya,” tegas Alfons.

Alfons kemudian menjelaskan mekanisme penyimpanan data retina yang umum digunakan.

“Data retina disimpan dalam format digital terenkripsi, yang kemudian dipecah menjadi beberapa bagian dan disimpan di server yang berbeda,” jelas Alfons.

Untuk menembus sistem keamanan ini, seseorang perlu mengakses beberapa server sekaligus dan memecahkan enkripsi yang kompleks.

Baca juga: Selain di Indonesia, Worldcoin Juga Menuai Kontroversi di Negara Lain…

“Data iris mata diubah menjadi format digital dan dienkripsi. Selanjutnya, data yang terenkripsi ini dipecah dan didistribusikan ke berbagai server terpisah,” imbuhnya.

Meskipun demikian, seperti halnya sistem digital lainnya, teknologi pemindaian retina tetap memiliki potensi risiko penyalahgunaan data, bahkan jika dikelola oleh perusahaan besar.

“Jika World.ID berniat menyalahgunakan data, hal itu sangat mungkin terjadi. Sama halnya dengan Google, Meta, atau Microsoft. Apakah ada potensi penyalahgunaan? Tentu saja ada. Besarnya risiko sebanding dengan dampak penyalahgunaan data tersebut,” jelas Alfons.

Alfons berpendapat bahwa kekhawatiran terhadap teknologi pemindaian retina mungkin sedikit berlebihan, mengingat masyarakat secara sukarela memberikan data pribadi yang berharga ke berbagai platform seperti Google Maps, Waze, Meta, dan layanan cloud.

“Data yang dikumpulkan oleh Google Maps dan Waze sangat bernilai dan berpotensi berbahaya jika bocor atau disalahgunakan. Namun, kita cenderung merasa aman,” kata Alfons.

“Mengapa demikian? Karena manfaat yang kita peroleh sangat besar, dan data tersebut dikelola oleh perusahaan yang relatif bertanggung jawab,” tambahnya.

Baca juga: Seri iPhone 16 Kantongi Sertifikat Postel Kominfo, Apa Artinya?

Manfaat potensial teknologi pemindaian retina.

Alfons kemudian menjelaskan potensi manfaat yang bisa diperoleh jika WorldID, dengan teknologi pemindaian retinanya, dikelola secara optimal.

“Sistem identifikasi yang akurat dapat membantu mengatasi berbagai permasalahan di Indonesia,” jelas Alfons.

Berikut adalah beberapa manfaat potensial jika teknologi pemindaian retina diimplementasikan secara efektif:

1. Mencegah penyalahgunaan bot.

Penyalahgunaan bot merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia, terutama dalam pembelian tiket.

“Contohnya, saat terjadi *war* tiket. Dalam situasi *war* tiket (secara *online*), pemenangnya cenderung adalah mereka yang memiliki koneksi internet cepat dan menggunakan banyak bot,” jelas Alfons.

Dengan sistem yang diusung oleh WorldID, yang menggunakan pemindaian retina, bot tidak akan dapat beroperasi karena akan terdeteksi oleh sistem.

“Hal serupa berlaku untuk akun-akun bot *buzzer* yang sering disalahgunakan untuk tujuan negatif,” jelas Alfons.

Akun bot sering digunakan untuk menciptakan ilusi bahwa sejumlah besar akun mewakili individu yang berbeda, padahal sebenarnya dikendalikan oleh segelintir orang.

“Penerapan teknologi pemindaian retina dapat mencegah praktik ini,” pungkas Alfons.

Baca juga: Daftar 10 Teknologi AI Terpopuler di Tahun 2024

2. Meminimalkan penyalahgunaan identitas.

Alfons berpendapat bahwa sistem yang diterapkan oleh WorldID dapat membantu mencegah penyalahgunaan identitas.

“Sistem akan mendeteksi jika seseorang mencoba membuat KTP, SIM, atau paspor lebih dari satu kali, meskipun orang tersebut mengganti nama dan identitasnya,” jelas Alfons.

Meskipun nama dan identitas diubah, data biometrik akan tetap terdeteksi sama oleh sistem.

“Hal ini sangat berguna dalam mencegah penyalahgunaan identitas, seperti pemalsuan dokumen,” jelas Alfons.

Baca juga: Pentingnya Regulasi AI untuk Menghindari Ancaman Bagi Umat Manusia (Bagian III-Selesai)

Perlukah teknologi pemindaian retina didukung?

Alfons menjelaskan bahwa teknologi pemindaian retina yang diterapkan oleh WorldID akan sangat bermanfaat jika dikelola dengan baik dan bertanggung jawab.

Menurut Alfons, potensi bahaya tidak terletak pada teknologinya itu sendiri, melainkan pada pengawasan dan regulasi yang lemah.

Oleh karena itu, ia menyarankan agar pemerintah Indonesia tidak terburu-buru menolak teknologi ini.

“Pemerintah dapat meminta perusahaan seperti Worldcoin untuk menyimpan data biometrik warga Indonesia di dalam negeri agar dapat diawasi dengan lebih baik,” saran Alfons.

Alfons berpendapat bahwa pemerintah Indonesia sebaiknya memberikan kesempatan, dengan syarat sistem ini mematuhi regulasi lokal dan diaudit oleh lembaga independen.

“Jika pengelolaan datanya transparan, diaudit oleh lembaga independen, dan memenuhi standar keamanan yang ketat, seharusnya diberikan kesempatan,” jelas Alfons.

Baca juga: Mengenal Fauzan, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Kabinet Prabowo-Gibran

Share:

[addtoany]